Soegija
Jenis Film Drama, Biografi, Sejarah - Pemain Nirwan Dewanto, Anissa Hertami, Butet Kertaredjasa, Woulter Braaf, Wouter Zweers, Nobuya Suzuki, Olga Lidya, Andrea Reva, Henky Solaiman, Eko Balung, Margono, Rukman Rosadi, Andrano Fidelis - Sutradara Garin Nugroho - Penulis Armantono - Kamera Teoh Gay Hian - Artistik Allan Sebastian - Kostum Retno Damayanti - Suara Satrio Budiono, Trisno - Musik Djaduk Ferianto - Editor Wawan I. Wibowo - Supervisor Pasca Produksi Taufik Kusnandar - Produser Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijaanto SJ, Tri Giovanni, Nova Teguh, Margaretha Rini - Produksi Puskat Pictures, PT Alam Media, Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta - Format Film HD Transfer 35 mm - Durasi 115 menit - Rilis 7 Juni 2012.
Soegija diangkat di tengah situasi gejolak perang Asia Pasifik, ketika harapan tumbuhnya keadilan disertai berbagai bentuk kekeasan dan penderitaan yang melibatkan bangsa-bangsa dunia, persoalan nasionalisme dan transisi kepemimpinan di daerah-daerah di Indonesia. Diwarnai dengan kehadiran Jepang, keinginan Belanda untuk tetap berkuasa di Indonesia, kedatangan Sekutu dan proses Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Kisah yang berlangsung pada tahun 1940-1950, tentang kerja kepemimpinan dengan "silent diplomacy" serta prinsip kebangsaan dan kemanusiaan Soegija. Di tengah kisah-kisah manusia dan kemanusiaan yang begitu beragam dan penuh dimensi: Mariyem, remaja yang ingin menjadi perawat dan yang mencari kakaknya; kisah kemanusiaan serdadu Jepang (Suzuki) yang harus berperang namun mencintai anak-anak; kisah serdadu Belanda (Robert) yang menjadi mesin perang tapi bertemu dengan peristiwa kemanusiaan; kisah fotografer Belanda (Hendrick) yang terjebak perang dan cinta; kisah gerilyawan remaja buta huruf (Banteng); kisah Ling Ling gadis kecil Tionghoa yang mencari ibu dan mempertanyakan nasibnya; kisah gerilyawan (Lantip) yang hidup untuk mengorganisir anak muda untuk berjuang; kisah Pembantu Uskup (Koster Tegimin) yang hidup sendiri dan menjadi teman dialog Soegija dalam kesehariannya.
Di tengah situasi penuh kekacauan di Semarang, Soegija berusaha memandu religiusitas dalam prespektif nasionalisme yang humanis. Ia menjalankan "silent diplomacy", melakukan perundingan damai yang melibatkan Sekutu (termasuk Belanda), Jepang, dan Indonesia di tengah perang lima hari di Semarang.
Ia melakukan surat menyurat dan pertemuan dengan pemimpin Indonesia seperti Syahrir dan Soekarno serta tokoh-tokoh lainnya. Di sisi lain, Soegija juga mendukung pengorganisasian gerakan pemuda untuk mendukung gerakan pemuda lainnya serta pelayanan sosial. Ia melakukan panduan nilai kepemimpinan lewat kunjungan warga, khotbah dan tulisan-tulisan, antara lain, "Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri senidri."
Pasca kemerdekaan, Belanda tetap ingin berkuasa di Indonesia. Wilayah Republik menjadi sangat kecil, Uskup Soegija memutuskan memindahkan Keuskupan dari Semarang ke Jogjakarta untuk mendukung Republik yang ibukotanya saat itu dipindah ke Jogjakarta juga.
Soegija melakukan "silent diplomacy" yang penting sehingga Vatikan mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini menyebabkan dukungan dunia international terhadap Belanda mengalami kemerosotan yang sangat besar, Soegija terus melakukan seruan-seruan panduan nilai, "Dalam masyarakat, masih terdapat fatalisme, fanatisme, chouvinisme, egoisme..... yang menganggu kehidupan bermasyarakat."
Film ini ditutup dengan hengkangnya Belanda dari tanah Indonesia. Masing-masing tokoh mengalami dunia baru: Robert tertembak, justru ketika ia ingin pulang setelah merasakan kebodohan perang. Sementara, Mariyem kembali menjadi perawat, Lantip ingin kerja politik, Banteng dan sahabat kecilnya berjalan di jalanan dengan bebas meskipun tetap menyelipkan senjata di celana. Sebuah isyarat akan kebebasan dan harapan baru. Namun tidak seorang pun bisa memprediksi masa depan Indonesia. Uskup Soegija berpesan ke Lantip, "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik, jika tidak punya, maka politikus hanya jadi benalu Negara."
Uskup Soegija kembali ke Semarang, ia menulis pesan, "Kemanusiaan itu satu,... di masa depan tidak ada lagi anak-anak hidup di tengah mesiu dan kekerasan..."
Director's Statement
Kenapa Sejarah Popular?
Pendekatan sejarah popular dengan bahasa hari ini sengaja dipilih dengan menggabungkan kisah nyata Mgr. Soegijapranat dengan intreprestasi kisah-kisah di tengah revolusi yang diambil dari berbagai sumber (Sahabat Soegija, Kisah Revolusi, Buku harian serdadu Jepang dan Belanda, dll). Oleh karena itu, film ini bukanlah sejarah pribadi Soegija dalam kerja maupun persoalan agama.
Sesungguhnya banyak sekali pilihan untuk menuturkan kisah Mgr. Albertus Soegijapranata yang memang multi dimensi, baik itu dari segi perjalanan sejarah pribadi dan karier (agama) hingga persahabatannya dengan Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya. Film ini merupakan salah satu intrepretasi populer yang memerlukan intrepretasi-intreoretasi lainnya di kemudian hari dengan beragam cara pandang.
Maka film ini dikemas dengan keindahan "Hollywood dan Eropa" namun dengan "drama Asia" untuk menjadi bagian budaya populer masa kini, tanpa mengurangi nilai hiburan sebagai kemasan yang mengelola rasa kemanusiaan dan kebanggsaan.
Tuturan film ini lalu menggabungkan action, drama, komedi dan diperkaya dengan lagu-lagu serta epik kolosal.
Kenapa diperlukan film "Soegija"?
Kita sesungguhnya perlu melihat dan belajar kembali dari kepemimpinan era kemerdekaan, yakni kepemimpinan berbagai agama dan kepercayaan, yang sesungguhnya telah memberi sumbangan besar terhadap berdirinya Republik dalam prespektif nasionalisme humanisme.
Masyarakat Indonesia yang multikultur perlu mengalami beragam kepemimpinan agama dari beragam agama, yang bahu membahu memberi sumbangan pada nasionalisme. Film "Soegija" adalah salah satunya. Di masa depan mungkin juga perlu kembali mengangkat kepemimpinan dari beragam agama dan kepercayaan lainnya di Indonesia.
Masih aktualkah "Soegija"?
Kepemimpinan dan nilai-nilai yang diyakini oleh Segijapranata terasa sangat relevan dengan kondisi sekarang meski dalam perspektif berbeda. Panduan nilai seperti "politikus tanpa mental politik, hanya jadi kekuasaan dan benalu negara" juga keprihatinannya, "Masih banyak fatalisme egoism, chouvinisme, dan fanatisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat" serta kegundahannya, "Apa artinya menjadi merdeka, tanpa bsa mendidik diri sendiri ?" hanyalah beberapa contoh.
Film ini juga mengisyaratkan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk memandu beragam gejolak kekerasan yang terjadi di Indonesia, baikdalam lingkup nasional maupun gejolak di daerah-daerah yang dipenuhi kekerasan serta penjarahan bahkan yang melibatkan dunia international.
Behind The Scene:
Multikultur Pemain
Inilah assemble acting multikultur, Jawa, Cina, hingga Belanda, Jepang dan beragam bangsa dengan beragam bahasa. Bahkan pemain Jepang dan Belanda adalah pemain yang asli dan di casting dari negaranya masing-masing. Dari segi pemain dan ekstras/figuran mencapa kurang lebih dari 2775 orang dan tiap hari mencapai 150 pemain dan ekstras/figuran.
Multikulur Artistik dan Kostum
Era 1940-1950 adalah era yang sangat kompleks karena gabungan dari beragam artistik (arsitektur, kostum, gaya hidu, tata rambut, dll). Maka kerja artistik dan kostum menjadi sebuah kerja yang luar biasa, apalagi angle dari kamera selalu lear dan luas dengan tuntutan kejadian sehari-hari yang memerlukan penyediaan artistik yang detail: bermain tenis, restoran, interiran, alat musik, situasi dan arsitektur gereja, jalan kota, dll.
Multikultur Musik dan Lagu
Memilih Djadug sebagai penata musik adalah pilihan terhadap kekayaan situasi sosial dan politik dalam perspektif lagu dan musik. Dan film ini pun dipenuhi dengan lagu-lagu tahun 1940-1950 yang multikultur dalam bahasa atau pun jenis lagu dan musik. Djadug dengan cerdik meletakkan lagu-lagu populer sat itu, tidak semata lagu kebanggaan, guna memberi ruang sosial kehidupan rakyat dan menggabungkannya dengan keindahan humanisme musikal yang kuat.
Multikultur Visual
Kerja kamera adalah menggabungkan visual yang kuat ala "Hollywood-Eropa" dengan perasaan-perasaan kehidupan Asia khususnya Indonesia saat itu. Sebuah kerja yang sangat tidak gampang karena dimensi Indonesia adalah keberagaman visual kehidupan, sebutlah rumah etnis Cina, ruang publik kota Belanda di Indonesia, sudut Jogja, dll.
Multikultur Manajemen
Film ini menuntut manajemen produser dan tim asisten yang bekerja sangat luas dan keras menghadapi persoalan lingkup manajemen manusia multikultur, kerumitan artistik hingga pengelolaan ruang dan waktu karena pengambilan gambar dilakukan di berbagai kota serperti di Semarang, Magelang, Ambarawa, Klaten, Jogja) serta juga biaya yang tidak sedikit.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda